
AtensiRakyat.com : Medan – Melihat dinamika penolakan terhadap Rancangan Undang Undang (RUU) Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Parsadaan Pomparan Raja Lontung (PPRL) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), Assoc Prof. Dr. Rudi Salam Sinaga, S.Sos., M.Si., menyatakan perubahan Undang-Undang (UU) TNI tersebut memaksimalkan potensi yang dimiliki TNI untuk kepentingan Negara dan Bangsa ditengah keadaan ekonomi nasional dan percaturan pengaruh global saat ini.
Hal ini disampaikannya kepada wartawan, Jumat (28/03/2025) malam saat ditemui di sebuah cafe di Kota Medan, Provinsi Sumut.
Lebih lanjut, Ketua DPD Raja Lontung Sumut yang merupakan perkumpulan 9 marga yang terdiri dari Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Siregar, Sihombing, dan Simamora, ini mengatakan bahwa di negara demokrasi, kegiatan unjuk rasa adalah hal yang normal, namun tidak normal bila dilakukan dengan cara-cara yang melanggar ketentuan hukum seperti pembakaran fasilitas umum, pengerusakan dan kekerasan.
“Dalam analisis sistem politik yang merujuk pada pemikiran David Easton, terdapat kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam proses memberi masukan atau disebut input kepada sistem politik. Dengan demikian situasi ini disebut situasi politik dimana yang kontra dan pro dalam suatu kebijakan akan berupaya memberikan pengaruh. Pengaruh, dalam dunia politik adalah hal yang normal tentu juga aplikasi pengaruh dilakukan dengan tindakan yang normal sesuai hukum,” katanya.
Rudi menjelaskan, ketentuan yang berubah di pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 menegaskan prajurit harus mengundurkan diri atau pensiun dari kedinasan (lihat Pasal 47 ayat 1) kecuali untuk jabatan tertentu (lihat Pasal 47 ayat 2) dan hal-hal tersebut mengikuti tata cara yang dijelaskan pada ayat 3, 4, 5, dan 6 pada pasal 47 UU 34 Tahun 2004.
“Penekanan dari pasal 47 telah secara jelas menyebutkan hanya pada jabatan di kantor tertentu. Ini artinya tidak pada semua kantor. Keadaan ini memaknai pemerintah memberi penghormatan pada supermasi sipil karena masih banyak kantor jabatan yang tersedia bagi warga sipil seperti kementerian hingga kepala daerah dengan Pilkada,” ujarnya.
Di sisi lain, sambung Rudi, setiap kepala negara memiliki kewenangan diskresi untuk membentuk organisasi pemerintahan dalam bentuk Kementrian, lembaga non Kementrian ataupun mengangkat seseorang atau lebih untuk menduduki jabatan tertentu yang sejalan dengan ketentuan. Fenomena diskresi terjadi di negara manapun, seperti di negara maju ataupun di negara berkembang.
“Pasal 53 mengalami perubahan tentang batas masa kedinasan keprajuritan usia 60 tahun bagi perwira, usia 58 tahun bagi Bintara dan tamtama (lihat Pasal 53 ayat 1) terkecuali bagi jabatan fungsional 65 tahun dengan ketentuan tertentu (lihat Pasal 53 ayat 2) kemudian khusus perwira tinggi bintang 4 dapat diperpanjang 2 kali melalui mekanisme keputusan Presiden (lihat pasal 53 ayat 3). Mekanisme berkaitan dengan batas usia kedinasan mengacu pada pasal 53 ayat 4 dan ayat 5,” sebutnya.
Dipaparkannya lagi, masa kedinasan aktif keprajuritan yang diperpanjang sangat searah dengan konsep efisiensi dan efektifitas.
“Inikan arah dari prinsip tatakelola yang memperhatikan kemampuan sumber daya manusia, anggaran dan ketersediaan kemampuan. Mirip dengan persiapan untuk menghadapi Pilkada yang efektif dan efisien maka dilakukan Pilkada serentak. Tentu masa jabatan periodesasi Kepala Daerah ditata kembali agar tepat. Kepada kita semua supermasi sipil masih tercermin di dalam RUU ini. Dengan demikian apa yang mau kita khwatirkan,” pungkasnya. (Yz)